Kamis, 21 Januari 2016

“Analisis Pelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus Papua, Perspektif Hukum Internasional” Oleh Sam.


BAB. I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG.
Sebagaimana kita ketahui bahwa, pada tanggal 21 November 2001 mengesahkan Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemerintah Pusat memberikan desenteralisasi melalui Otonomi Daerah atau penyerahan wewenang dari pemerintah pusat  kepada pemerintah daerah otonomi “seperti di kutip dari teori Hans Kelsen” Decentrazation by Local Autonomy [1] atau Desentralisasi melalui Otonomi Daerah adalah suatu perpaduan langsung dari ide-ide demokrasi, masalah-masalah menyang
kut kepentingan khusus daerah tertentu, dan ruang lingkup wewenang kota madya untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dalam  sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang merupakan landasan Yuridis pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua  terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal, yang di awali dengan konsideran dan di akhiri dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal-demi pasal. Secara filosofis, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 memuat sejumlah pengakuan dan komitment Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia[2].  Sejumlah pengakuan maksud adalah; (1). Undang-undang dibuat dalam kerangka mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (2). Masyarakat Papua adalah insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, (3). Adanya satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus, (4). Penduduk asli Papua adalah salah satu rumpun ras Malanesia  dan merupakan bagian dari suku-suku  bangsa di Indonsia yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat dan bahasa. (5). Penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan Rakyat, mendukung terwujudnya hak asasi manusia, (6). Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, (7). Pangakuan adanya kesenjangan provinsi Papua dan provinsi-provinsi lain di Indonesia[3].  Di sisi lain terdapat juga, sejumlah komitmen, antara lain; Penegakkan  hukum dan HAM ( Rule of Law and Human Rights),  Perlindungan (Protection), Pemberdayaan (empowerment)  dan keperpihakan (alfirmasi action) yang merupakan roh dari Undang-undang Otonomi  khusus Papua. Sampai kini kondisi faktual  belum di jalankan secara baik dan konsekuen. Masyarakat wilayah Indonesia timur Papua menjadi  korban objek pembangunan. Ketika Otsus 14 tahun telah bergulir diProvinsi Papua menjalankan  pemerintahannya, akan tetapi arti Otonomi  khusus belum sepenuhnya menyentuh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat pribumi di Papua yang notabene yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan segala keterbatasan pembangunan dan, yang termasuk  dalam  hal ketidak adilan. Diskriminasi politik  ekonomi dan sosial.
Berkaitan dengan latar belakang di atas, penulis  hendak bahas adalah Sejauh manakah Eksistensi Pelaksanaan UU Otsus Papua dari Perspektif Hukum Internasional.

BAB. II
PENGERTIAN
A.      Pengertian  Otonomi Khusus.
Pengertian Otonomi Khusus dalam Hukum Internasional. Otonomi khusus adalah salah satu bagian dari apa yang dinamakan menentukan nasib sendiri. Dalam praktek  hukum internasional di jabarkan dalam pasal (1),[4] Konvenan Internasional Hak-hak Sipil, dan hak Politik, dan juga Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan hak Budaya. Rumusan pasal (1) dari kedua konvenan ini di tunjukan pada:
1.        Masyarakat yang telah mendapatkan kemerdekaanya.
2.        Masyarakat yang tinggal di wilayah belum mendapat kemerdekaan.
3.        Masyarakat yang tinggal di sebuah negara yang  berada dibawah pendudukan militer asing.
Sedangkan pengertian Otonomi dalam konteks hukum nasional adalah bagian dari pemerintahan sendiri dari sebuah institusi dan organisasi publik. Dalam hal ini termasuk kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, yang mengatakan bahwa pemerintahan otonomi berhak mengatur urusannya sendiri melalui pengesahan sebuah Undang-undang. Dalam hukum internasional, otonomi berarti bahwa  sebagian dari wilayah suatu negara di berikan kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri yang dalam beberapa hak dengan cara mengsahkan suatu undang-undang tanpa di ikuti pembentukan suatu bangunan kenegaraan yang baru.
Menurut  Lapidoth yang di kutip oleh Hans- Joachim Hentze[5] terdapat beberapa konsep dari otonomi dari konsep hukum yaitu:
1.         As a right to act upon one’s own discretion in certain metters.
2.        As a synonym of independence
3.        As a synonym of desentralization
4.        As exclusive powers of legislation, administration, and adjudication in specific areas of an autonomous entity.
Secara prinsip, otonomi di berikan sebagai perolehan suatu wilayah berpemerintahan sendiri (internal–self government), sebagai pengakuan kemerdekaan parsial dari pengaruh pemerintahan pusat. Kemerdekaan ini hanya dapat ditentukan melalui tingkatan otonomi dalam proses pengambilan politik.
Perolehan otonomi khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya di dasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara  yang merdeka. Hukum internasional memang membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri yang berujung pada terbentuknya negara baru pada tiga kategori yaitu:
1.        Masyarakat yang berada dibawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain.
2.        Masyarakat yang berada dibawah penduduk pemerintahan asing.
3.        Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
Otonomi khusus dalam hukum internasional telah di akui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu  negara. Oleh karenanya hukum internasional memberikan penghormatan terhadap  perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari penerapan otonomi khusus adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Dengan demikian perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi khusus ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum yang didasarkan pada perlindungan terhadap hak asasi manusia yang secara langsung berdampak pada kemajuan standar umum bagi pekerjaan terhadap demokrasi, kesejahteraan, dan partisipasi rakyat pada bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.
Jika adanya daerah otonom suatu negara  (a self governing intra state region) sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyelesaian konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat untuk memciptakan daerah otonom sebagai suatu intra state region with unique level of local self-goverment.[6] untuk itu daerah otonom harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang di dasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dari dibandingkan daerah lain dalam suatu  negara.
Otonomi Khusus di Indonesia secara konstitusional dijamin dalam Pasal 18 B ayat 1 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Dalam konteks hak asasi manusia, otonomi khusus pada dasarnya diakui dan dijamin dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (diratifikasi melalui UU No 11 Tahun 2005) yang berbunyi[7](1.) All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development. (2.) All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic co-operation, based upon the principle of mutual benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its own means of subsistence”.


B.            Isi dari Otonomi Khusus
Otonomi khusus dapat berarti keseimbangan yang dibangun dengan kontruksi hukum antara kedaulatan  negara dan ekspresi dari identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu  negara. Secara konstitusional tingkat dari otonomi sendiri dapat dilakukan dengan pengalihan kekuasaan legislative dari organ negara kepada lembaga dari daerah otonomi tersebut. Dengan mendasarkan prinsip kedaulatan negara, satu atau lebih wilayah dapat diberikan status khusus sebagai daerah otonomi berhak menikmati local  self-government yang Lauri Hinnikainen[8] mencakup beberapa kewenangan dan isi tertentu yang penting antara lain:
a.  Status dari daerah otonomi harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada diatas ketentuan perundang-undangan di suatu negara. Ini juga bisa didasarkan pada perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah tersebut.
b.  Daerah otonomi harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat di daerah tersebut dan memiliki beberapa kewenangan legislatif yang mandiri.
c.   Adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidikan dan kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah, kesehatan, tata ruang, dan transportasi.
d. Daerah otonomi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional.
e. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif.
f.  Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan ekonomi dari daerah otonomi.
g.    Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya.
Hukum Internasional memang tidak memberikan pembatasan dalam pengaturan secara konstitusional dalam suatu negara dalam hal bentuk sub sovereign status atau otonomi.
Menurut Husrt Hannum, otonomi yang lebih luas harus diikuti juga oleh perolehan beberapa kewenangan yang diurus secara langsung kepada;
1.    DPR lokal yang dipilih dengan memiliki kewenangan legislatif yang mandiri.
2.    Kepala pemerintahan yang dipilih
3.    Kekuasaan kehakiman lokal yang mandiri dengan kewenangan penuh untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan lokal.
4.   Adanya perjanjian pembagian kekuasaan antara pemerintah otonomi dengan pemerintah pusat[9]
Suatu wilayah otonomi harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangka norma dasar dari suatu negara. Otonomi tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama, negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu untuk mengelola kewenangannya secara nyata.
Dengan demikian isi dari Otonomi Khusus Papua ada beberapa kewenagan yaitu, adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidikan dan kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah, kesehatan, tata ruang, dan transportasi. 
Daerah otonomi khusus Papua kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif.   Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembangunan ekonomi dari daerah otonomi. Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya. Suatu wilayah otonomi khusus tidak hanya harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangka norma dasar dari suatu negara. Namun juga memiliki sebagian kewenangan-kewenangan tertentu yang pada dasarnya hanya boleh dimiliki oleh pemerintah pusat seperti kewenangan pada bidang hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan, pengadilan, keuangan dan moneter, agama, dan imigrasi. Otonomi khusus jelas tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama, negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu untuk mengelola kewenangannya secara nyata.
C.     Analisis Isi Undang–Undang Otonomi Khusus Papua Berdasarkan dengan Standar Hukum Internasional Yang Berlaku.
Otonomi Khusus Papua yang diberikan melalui UU Nomor  21 Tahun 2001 jo Perpu No 1 Tahun 2008 pada dasarnya adalah tindakan sepihak dari pemerintah pusat tanpa melalui konsultasi atau perjanjian yang mendalam dengan masyarakat Papua. Salah satu kelemahan model ini adalah tidak adanya dukungan dari masyarakat yang akan menikmati otonomi khusus tersebut. Oleh karena itu Level otonomi khusus untuk papua ada dalam skala rendah Kewenangan Khusus. Terkait dengan Kewenangan Pemerintah Pusat. Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 jo Perpu Nomor 1 Tahun 2008 maka Otonomi khusus Papua tidak sampai pada bidang–bidang yang menjadi kewenangan eksekutif pemerintah pusat, yaitu[10]:
a.      Dalam hal perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah pusat yang hanya terkait terhadap Papua dapat dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dari Gubernur, artinya perjanjian internasional yang tidak terkait secara khusus kepada Papua namun memiliki dampak terhadap Papua maka tidak ada peran dari pemerintah otonomi khusus Papua. Seharunya setiap perjanjian internasional dan atau peraturan perundang – undangan yang mempunyai dampak terhadap Papua memerlukan persetujuan dari DPR Papua dan Gubernur Papua.
b.  Dalam hal keamanan, Daerah Otonomi Khusus Papua juga tidak berwenang untuk membentuk lembaga kepolisiannya sendiri. Hanya memang penunjukkan Kepala Kepolisian Daerah memerlukan persetujuan dari Gubernur. Sebenarnya menarik apabila Papua memiliki unit kepolisian tersendiri yang sifat hubungannya dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia hanyalah bersifat koordinasi dan bukan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
c.     Dalam hal pertahanan, juga tidak nampak kewenangan khusus dari daerah otonomi khusus, namun hal ini merupakan hal umum yang terjadi di berbagai daerah otonomi khusus di seluruh dunia.
d. Dalam hal peradilan, meskipun telah diakui adanya peradilan adat Papua, namun hal ini memerlukan pengaturan lebih spesifik terkait bagaimana relasi antara peradilan adat dengan peradilan umum nasional. Ada baiknya jika putusan peradilan adat/hukum adat harus dikuatkan oleh peradilan umum jika tidak ada salah satu pihak yang keberatan.
e. Dalam hal moneter dan fiskal, setidaknya sampai saat ini tidak ada ketentuan yang khusus mengatur mata uang yang berlaku secara khusus di Papua dan Bank Sentral khusus yang berada di Papua untuk menangani kebijakan moneter dan fiskal.
f.  Dalam hal imigrasi, tidak ada kebijakan imigrasi khusus yang merupakan ciri khas dari Papua. Dalam banyak hal, biasanya daerah otonomi khusus berhak menerbitkan kebijakan visa tertentu yang berbeda dengan daerah lainnya.
g. Dalam hal sosial dan budaya serta kerjasama internasional, mestinya Papua diberikan peluang untuk tampil dengan tim sendiri di luar Indonesia dan berhak ikut serta sebagai peserta khusus dalam berbagai forum internasional non negara dan berhak untuk berada dalam tim Indonesia bila forum internasional itu hanya untuk negara. Menurut saya menarik bila di forum – forum olahraga, seni, dan budaya seperti SEA Games dan Pasific Games,  Papua dibenarkan bertanding dan tampil atas namanya sendiri.
Berbagai uraian dan latarbelakang masalah diatas menegaskan bahwa, Undang-undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan produk politik yang menghasilkan melalui proses kompromi yang melibatkan multi stakeholders untuk berpihak kepada kepentingan rakyat  dan  pemerintah di Provinsi Papua. Jika di tinjau dari UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan  pada dasarnya adalah memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah Provinsi Papua sebesar-besarnya bagi kewakmuran rakyat Papua, memperdayakan potensi perekonomian, sosial, budaya, yang dimiliki, perlindungan hukum dan keadilan, yang termasuk didalamnya, memberikan  peranan yang signifikan bagi orang asli Papua melalui wakil-wakilnya untuk terlibat dalam  proses perumusan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di provinsi Papua. Namun ketika  kita membaca isi  dari eksistensi Otsus itu  tidak berjalan secara efektif dan efisien. Daerah tidak diberikan kesempatan untuk lebih kreatif dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Akibatnya pemerintah daerah cenderung pasif dan kewenangan-kewenangan yang dilaksanakan tidak lebih dari apa yang telah digariskan sebelumnya oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan pemerintahan yang sangat sentralistik tersebut diibaratkan api dalam sekam yang siap untuk menyala. Meskipun pemerintah dapat meredam dengan kekuatan militer dan birokrasi dengan memeberikannya UU Otsus Papua yang bersifat komandoistik, namun protes dan persoalan integrasi bangsa mencuat manakala pemerintah tumbang. Persoalan pelanggaran HAM Papua sebagai isu dunia internasional. Di dalam pelaksanaan UU Otsus masalah politik tidak berjalan baik dan benar, contohnya kedudukan  wakil rakyat DPRD,  pembentukan partai Politik lokal, , Penegakkan supermasi hukum, HAM dan demokrasi serta Penyelesaian masalah pelanggaran hak-asasi manusia di Papua, dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR) tidak jalan. Otsus di harapkan di atur dengan Tata kelolah yang baik dan benar.  Otsus harus di perbaiki termasuk dana Otsus, harus ada  payung hukum yang memproteksi hak-hak orang asli Papua,  ada di perdasus tata cara di buat oleh gubernur. Rakyat tidak mendapat maka harus perbaiki tata  kelolah. Undang-undan Otonomi khusus Papua di letaktakn tingkat Provinsi di Papua, di harapakan agar pembangunan Papua dari semua aspek membawa berubahan. Namun sanyangnya UU Otsus  pasal-pasal tidak jelas yang mengatakan  itu, bahwa pasal  tidak  mengatur dititik beratkan  tentang pemerintahan daerah tidak berlaku lagi. Misalnya UU Pemerintahan daerah Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Otsus Papua sama-sama perlaku. Akibatnya tidak ada jalan lain bagi pemerintah, yakni dengan memberikan status otonomi bagi daerah. Dasar yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diberikan untuk melaksanakan otonomi, hal ini seiring dengan lahirnya UU No.32 tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lahirnya UU ini telah melahirkan nuansa baru dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di Papua.Daerah-daerah khsususnya Kabupaten/kota diberikan kesempatan yang besar dalam melaksanakan urusan-urausannya. Persoalan yang baru muncul dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua adalah pemerintah provinsi Papua merasa tidak diberikan kewenangan yang besar dibandingkan dengan pemerintah kabupaten/kota. Akibatnya pemerintah kabupaten/kota di Papua merasa memiliki posisi yang sama dengan pemerintah provinsi. Hal ini berdampak kepada para gubernur di Papua merasahkan kabupaten berada di luar pengawasannya. Tidak jarang para gubernur merasa tidak dihormati oleh pemerintah Kabupaten. Dasar pelaksanaan otonomi khusus Papua No.21 tahun 2001 terbentur dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004. UU ini kembali memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi. Artinya, meskipun kesempatan untuk melaksanakan otonomi dititikberatkan pada kabupaten/kota, namun pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota lemah. Otonomi Luas/ Plus yang di gagas oleh Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai sebuah solusi berbagai permasalahan yang ada dalam pelaksanaan Otsus selama ini, yang sentralistik berdampak luas pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Di Papua Perdasus/Perdasi dari UU Otsus No.21 tahun 2001 tidak berjalan, karena Kabupaten/kota di Papua mereka menjalankan peraturan pemerintahan berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 maka, perdasus selalu pertentangan dengan Undang-undang sektoral lainnya. Antara lain bukan uang tetapi kewenangan, ini satu hal yang di perjelas.


 Secara umum penulis berpendapat  membagi dalam 3 bagian yaitu:
1.   Otsus itu diberikan proses menyetarakan masyarakat  Papua bisa akan terjadinya disintegrasi bangsa maka di berikan Otsus.
2.  Otsus itu adalah proyek pengembalikan harga diri, jadi diletakan harga diri  bukan sekedar  retorita. Maka di terjemahkan ke dalam Otsus itu misalnya, diPT.Freeport harus ada program pemberdayaan, sehingga pada satu tingkat tertentu orang-orang asli Papua itu duduk dalam posisi-posisi yang cukup strategis, bagaimana membuat orang Papua mampu, di pemerintahan juga begitu, dan semua level, itulah Otonomi khusus, sehingga ada satu proses mengangkat harga diri orang Papua. Perhatian dari pemerintah pusat tentu saja dengan cara memberikan keadilan, perlindungan, keperpihakan,dan pemerdayaan serta pelurusan sejarah Bangsa Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3.     Otsus itu dalam pelaksanaannya, bagaimana orang Papua itu ikut memiliki Indonesia bukan hanya di miliki oleh indonesia. Misalnya  kenapa orang padang, orang Batak, orang Makassar tidak merontak melawan republik, karena mereka rasa memiliki dan menikmati Indonesia yang besar ini, tidak mungkin mereka merontak. Tapi Papua belum. Dengan cara apa? bagaiamana orang papua bisa memiliki indonesia yang besar ini? Pemahaman saya tentunya, krimlah mereka dalam pelatihan-pelatihan ke seluruh indonesia tinggal di tempat-tempat itu  sebagai penyiar TV Nasional atau lokal, sebagai TNI/POLRI dan lain-lain. Berikan kesempatan untuk  berkarir, berkembang, dan sebagainya. sehingga tidak memikirkan Papua terus dalam pikirnya tetapi dia harus memikirkan keuntung yang besar dari republik, misalnya jabatan-jabatan di pusat, bagaimana pemerintah Pusat punya kewenangan menempatkan mereka, di beri pelatihan, kemampuan, di bentuk kopetensi tarulah mereka disitu, buat gres program seperti itu, supaya rasa memiliki Indonesia. Karena orang Papua melihat bahwa beberapa jabatan tingkat kementerian dari dulu sampai saat ini tidak murni perwakilan dari orang Papua, melainkan jabatan itu hanya di kasih jabatan politik. Nah disinilah letak kesalahan dalam pelaksanaan Otsus di Provinsi Papua. Kendatipun demikian beberapa pasal dari roh UU Otsus papua tidak berjalan baik, Otsus adalah  langka awal kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, pemerintah pusat tidak melihat lagi kepada pemerintah di Papua bahwa, ada peraturan-peraturan khusus yang mengatur dalam isi Otsus itu, misalnya, soal namanya pengangkatan Kepala kepolisian Daerah  Provinsi Papua hendaknya di lakukan persetujuan dari Gubernur, tapi pasal ini tidak berjalan, tidak hanya mengkat begitu saja, karena soal anggaran di kembalikan kepada negara artinya, semua fungsi pemerintahan bersumber dari APBN.
Dasar-dasar secara konstitusional yang disebutkan di atas merupakan dasar secara yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dasar pelaksanaan otonomi. Sehingga dalam prakteknya pemerintah memberlakukan keberagaman dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini terbukti dengan pembiaran dan tidak mengakui lembaga-lembaga daerah di Papua seperti Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Papua (DPRP), dan sekarang dibentuk  oleh negra Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), serta Lembaga Masyarakat Adat Papua (LMA), yang  di akui dan di bentuk oleh negara. Ketika melihat persoalan di atas, Gubernur Provinsi Papua Bapak Lukas Enembe, SP.,M.,H telah membuat Otsus Plus Papua sebagai solusi untuk Papua diharapkan agar pemerintah Pusat  memberikan kewenangan yang luas bagi Provinsi Papua guna mempertahankan disintegrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengharagai social budaya masyarakat Papua, melalui penetapan Otsus plus atau sebagai daerah Otonomi luas“yang diatur dengan undang-undang.”, namun sampai kini belum masukan dalam proglenas,  dan belum disetujui oleh DPR RI dan Presiden RI.
BAB. III        
Kesimpulan dan Saran
Berkaitan dengan penulisan ini, kesimpulan yang hendak saya simpulkan, sebagai berikut:
1.        Lemahnya pelaksanaan UU Otsus Papua, di karenakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yakni; Dalam pola penyelenggaraan pemerintahan Papua,terdiri atas pemerintahan yang bertingkat dari Pemerintah Pusat, provinsi, kabupaten, hingga pemerintahan yang terkecil yakni Desa. Kesatuan-kesatuan pemerintahan yang berada dibawah pemerintah pusat dapat melaksanakan sendiri pemerintahannya dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang telah didelegasikan oleh pemerintahan pusat. Dalam UUD 1945 mengatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selain itu, pada pasal 18B UUD 1945 juga menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khsusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2.        Pemberian Otsus Papua mulai tahun 2001 sampai kini  dinilai beberapa pasal tidak berjalan baik. Otonomi khusus seharusnya mampu membuat rakyat Papua semakin berdaya di semua aspek. Seperti pasal yang  sangat urges. Yakni, Pasal (4). perlindungan hak-hak dasar penduduk asli dan  hak-asasi Manusia.dan Supermasi hukum. Pasal , (6). Pengelolaan dan pemanfaatan  hasil kekayaan alam  Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan  taraf  hidup masyarakat asli Papua.
3.     Evaluasi pelaksanaan Undang-undang Otsus Papua, mulai dari Bab-berbab dan pasal-berpasal, karena setiap pasal di nilai banyak mubazir (tidak jelas), sehingga kewenangan Pemerintah Provinsi di nilai masih lemah dalam implementasikan Undang-undang Otonomi khusus tersebut. Karena sebagian pasal-pasal berententangan dengan Undang-undangan sertoral lainnya.  
Saran:
1.      Pemerintah pusat disarankan agar hendakya untuk memciptakan daerah otonom sebagai suatu intra state region with unique level of local self-govermen, untuk itu Otonomi Khusus Papua harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang di dasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dari dibandingkan daerah lain dalam suatu  negara.
2.      Undang-undang Otonomi Khusus Papua No.21 TAHUN 2001, Pemerintah Pusat segera menyetui  Draf Undang-Undang Otsus plus yang di usulkan oleh Gubernur Provinsi Papua, Papua Barat MRP, MRPB, DPRP,  dan DPRPB serta para Bupati/walikota setanah Papua.

Penulis adalah AMSAL SAMA,  Alumni Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih  Jayapura 2013, dan saat ini mengambil program Magister Hukum Universitas Padjadjaran Bandung 2015.

Catatan: Tulisan ini berdasarkan analisis penulis dan kutipan dari berbagai sumber yang terpercaya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca.








[1] Hans Kelsen. Teori Hukum murni . Rimdi Press. Bandung 1973. hlm.313.
[2] Hadi Setia Tunggal, SH.Undang-undang Otonomi khusus Bagi Provinsi Papua Edisi lengkap.Jakarta 2014.
[3] Ibid.hlm.692.
[4]  http://duniapolitiku.blogspot.co.id/2008/10/otonomi-khusus.html.
[5] Hans-Joachim Heintze, On The Legal Understanding of Autonomy dalam Autonomy: Application and  Implication, Kluwer Law International, Finland, 1997, hal 7
. http:// Lapidoth. The Evolution of Human Rights Concepts and the Application of the European
[6] Kjell-Ake Nordquist, Autonomy As A Conflict Solving Mechanism-An Overview dalam Autonomy: Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hlm. 59
[7] Lauri Hannikainen, Self Determination and Autonomy in International Law dalam Autonomy: Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hlm. 90
[8] Ibid.hlm.90.
[9] Hurst Hannum, Autonomy, Sovereignty, and Seld Determination: The Accomodation of Conflicting Rights, University of Pennsylvenia Press, Philadelphia, 1996, Hal 46
[10] Op.cit.hlm.308
Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek, Penerbit Yayasan ToPanG, Manokwari. Diposkan oleh wibiono di 21.14 Reaksi: Label: artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar